Friday, March 29, 2013



Salah Kaprah Pernikahan Dini
Bagi Masyarakat Awam
di Desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso

Febria Ratnasari, S.S

Ringkasan
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukanlah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayangnya tidak semua orang tidak bisa memahami hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah-tangga. Pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab sebagian orang kurang bahkan tidak bisa memahami hakikat dan makna pernikahan yang hakiki. Pernikahan dini bisa terjadi dikarenakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya pernikahan dini. Kasus seperti ini lebih mudah dijumpai pada daerah desa/pedesaan terutama didesa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso yang notabene banyak kaum awam yang masih percaya bahwa dengan melakukan pernikahan dini dapat mengatasi masalah, terutama beban ekonomi keluarga.

Kata Kunci: pernikahan dini, faktor pernikahan dini

1. Pendahuluan
Pernikahan sudah menjadi hal yang lazim bagi kita, namun berbeda halnya dengan kasus pernikahan dini. Bagi sebagian orang yang telah memiliki pemikiran matang juga wawasan luas mengenai konsep pernikahan tentunya akan memandang remeh tentang pernikahan dini, namun tidak menutup kemungkinan pula bahwa sebagian dari mereka sangat peduli terhadap dampak yang ditimbulkan bagi pelaku pernikahan dini bahkan sampai pada tingkat pola asuh anak.
Pernikahan dini banyak  ditemui dalam masyarakat pedesaan yang sebagian besar dari mereka belum mempunyai konsep psikologis yang matang. Penyebab terjadinya perkawinan di usia muda ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal. Selain itu faktor perjodohan seperti halnya pada zaman Siti Nurbaya masih berlaku dalam masyarakat awam di desa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso.
Terjadinya perkawinan usia muda di desa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso ini mempunyai dampak yang tidak baik bagi mereka yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda. Dampak dari perkawinan usia muda akan menimbulkan persoalan dalam rumah tangga, namun tidak mungkin dipungkiri bahwa tidak semua perkawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena tidak sedikit dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan keluarga sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri
Berdasarkan ulasan diatas Penulis memilih tema Pernikahan dini bagi masyarakat awam karena yang sangat menarik untuk dikaji karena pada usia muda masih banyak hal yang belum tentu mereka pahami mengenai pola kehidupan berumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di desa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso masih ditemukan adanya praktek perkawinan di usia muda pada beberapa pasangan usia dini.
Permasalahan merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian. Permasalahan yang dibahas harus jelas dan terarah. Oleh sebab itu penulis merumuskan pembahasan mengenai “Salah Kaprah Pernikihan Dini Bagi Masyarakat Awam di Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso” sebagai berikut:
1.      Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya pernikahan dini di Desa Pakem  Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso?
2.      Bagaimanakah pandangan masyarakat awam mengenai pernikahan dini di desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso?
3.      Apa dampak yang dialami oleh mereka yang melangsungkan pernikahan dini dan juga bagi perkembangan pola asuh anak?
Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1.      Mendeskripsikan faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya pernikahan dini di Desa Pakem  Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso.
2.      Mendeskripsikan pandangan masyarakat awam mengenai pernikahan dini di desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso.
3.      Mendeskripsikan dampak yang dialami oleh mereka yang melangsungkan pernikahan dini juga bagi perkembangan pola asuh anak.
Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat:
1.  Bagi masyarakat umum.
Memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang adanya UU perkawinan, sehingga perkawinan yang akan dilangsungkan sesuai dengan tujuan dari UU No.1 Tahun 1974 yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu sebagai bahan perenungan agar tidak terjadi kekerasan dan mengingkatnya angka perceraian dalam rumah tangga.
2. Memberikan pengetahuan kepada pasangan suami istri mengenai seluk-beluk kehidupan berumah-tangga yang baik.
            Dalam pembuatan artikel ini, penulis menggunakan metode wawancara dengan mendatangi beberapa tokoh yang setuju dan tidak setuju mengenai adanya kasus pernikahan dini di desa Pakem. Selain itu penulis juga menulis angket kepada anak remaja berusia antara 12-16 tahun di desa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso. Untuk menguatkan hasil penelitian penulis juga mengacu pada beberapa buku dan majalah yang membahasa mengenai pernikahan dan pernikahan dini.

2. Faktor-faktor Pendorong Pernikahan Dini

Maraknya pernikahan dini yang dialami remaja puteri berusia di bawah 20 tahun ternyata masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Tema pernikahan dini bukan menjadi suatu hal baru untuk diperbincangkan, padahal banyak risiko yang harus dihadapi mereka yang melakukannya.
Sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalahan secara matang.

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau dikota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami-istri muda, serta Bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda.

Hasil penelitian lapangan di desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan diusia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan diusia muda antara lain:
1.      Faktor ekonomi, berdasarkan fakta yang ada sebagian besar pendorong terjadinya pernikahan dini di desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso adalah faktor ekonomi. Banyak anak menyebabkan kebutuhan ekonomi semakin meningkat, sedangkat pendapatan yang didapatkan tiap harinya sebagai buruh tani/tani tidak mencukupi kebutuhan anak-anak mereka terutama masalah biaya pendidikan. Di desa Pakem ini, ada tradisi yang menarik bahwa mempelai wanita akan mendapatkan bantuan dari pihak laki-laki dalam masalah keuangan.sehingga orangtua dan  pelaku pernikahan dini berpendapat bahwa bila melakukan pernikahan beban ekonomi akan terbantu (lebih ringan).
2.       Faktor pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan mereka sangat mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan mengerti tentang hakikat dan tujuan perkawinan. Rata-rata jenjang pendidikan masyarakat desa Pakem didominasi oleh tingkat SD dan SMP, sangat minim sekali tingkat SMA dan kuliah di Perguruan Tinggi, hanya segelincir orang saja, tergantung kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan pendapatan orangtua. Berdasarkan hasil pengamatan, remaja yang melakukan pernikahan dibawah usia 16 tahun adalah hanya sampai pada jenjang pendidikan SD dan SMP bahkan ada pula yang belum pernah mengenyam pendidikan.
3.       Faktor orangtua, selain faktor pemenuhan kebutuhan hidup, pernikahan juga sangat berpengaruh terhadap jalinan/ikatan kekeluargaan terutama kekerabatan antara kedua calon mempelai. Faktor lainnya adalah adanya pendapat bahwa anak gadis harus cepat-cepat menikah bila tidak masyarakat awam di daerah itu akan mencibir dan menganggap anak gadis itu tidak laku sehingga menimbulkan rasa was-was pada orangtua; sehingga terjadilah perjodohan yang dilakukan oleh para orangtua walau tanpa memikirkan pendapat dan hak anaknya sebagai pelaku pengantin yang akan menjalani kehidupan barunya. Padahal dalam ajaran Islam telah diajarkan dalam Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya: “Nikahilah oleh kalian wanita- wanita yang kalian senangi”. Berdasarkan penjelasan dari ayat tersebut, seharusnya orangtua tidak memaksakan kehendaknya, sebab utuhnya sebuah pernikahan bila didasari oleh rasa senang dan siap menjalani sebuah pernikahan yang mempunyai nilai sakral.
4.      Faktor diri sendiri, pelaku pernikahan dini, terutama kaum hawa merasa menjadi beban bagi orangtua, sebab selain aib yang diderita sebagai wanita “tidak laku” atau terlambat menikah akan membebani dirinya. Selain itu tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
5.      Faktor adat setempat, dalam masyarakat Pakem terjadi kekeliruan atau salah kaprah yang sangat fatal. Masyarakat awam berasumsi bahwa “tak perlu wanita itu berpendidikan yang tinggi, toh pada akhirnya bekerja didapur juga“. Pendidikan dianggap sebagai hal yang kurang berguna, hanya menghabiskan uang dan pengeluaran rumah tangga bagi orangtua. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pemikiran yang tentunya didasari oleh latar belakang pendidikan yang relatif rendah. Berdasarkan hasil pengamatan dilingkungan desa Pakem, pelaku usia dini banyak yang berusia 12 tahun sampai 16 tahun (lulus SD-SMP), hal ini kareana salah kaprah pemikiran orang awam tentang makna pernikahan yang sejati, juga akibat rendahnya pendidikan. Selain itu sifat awam orang Pakem yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan diusia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Hasil temuan dilapangan bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara otoriter.

3. Pandangan Masyarakat Awam Terhadap Pernikahan Dini
            Berdasarkan hasil wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan pelaku pernikahan dini, ada sebagian masyarakat yang menyetujui adanya pernikahan dini. Bagi mereka pernikahan dini boleh saja terjadi, terutama dapat untuk membantu meringankan beban ekonomi. Tokoh-tokoh yang dituakan di desa Pakem setuju terhadap fenomena ini. Pada dasarnya hal ini sudah terjadi sudah lama, namun kesadaran yang kurang di dapatkan, terutama terjadi perbedaan antara generasi tua yang pro terhadap pernikahan dini dan generasi muda yang kontra terhadap pernikahan dini.
            Menurut mbah Suwarna dan Mbah Aminah mereka setuju dengan adanya pernikahan dini bahkan tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Bagi mereka dari pada anak gadis jadi momok keluarga sebab dianggap lambat menikah dan melakukan perbuatan zina lebih baik dinikahkan muda saja. “Buat apa dik wanita sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya hanya bekerja didapur” ujar mbah Suwarna. Selain menyelamatkan nama baik  keluarga juga dapat membantu meringankan biaya ekonomi disaat harga pendidikan tak terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah seperti yang terjadi di desa Pakem.
            Selain tokoh-tokoh yang pro terhadap pernikahan dini, adapun sebagian orang yang juga turut peduli terhadap fenomena ini. Bagi bapak Hadi Sudarsono pernikahan dini bias diantisipasi, salah satunya melalui pendidikan baik formal maupun informal. Sosialisasi undang-undang yang mengatur tentang pernikahan juga dianggap perlu.
            Nurivaniah juga merupakan wanita yang peduli terhadap adanya undang-undang yang mengatur tentang pernikahan. Ia juga sangat mengerti dan menghargai makna dari pernikahan, baginya pernikahan cukup sekali seumur hidup.
            Salah kaprah pandangan masyarakat awam terhadap pernikahan dini, menjadikan sebagian orang menjadi korban pelaku pernikahan dini. Tak selamanya pernikahan dini berakhir bahagia meski tidak menutup kemungkinan pula dapat berakhir dengan bahagia. Yuliani juga pernah merasakan menjadi korban pernikahan dini saat usia baru menginjak 15 tahun. Saat usianya 17 tahun ia mengalami keguguran karena kandungan yang terlalu lemah mengingat usianya baru 17 tahun.
            Selain Yuliani, Suswati seorang ibu rumah tangga juga pernah menjadi pelaku perniakan dini. Ia menikah diusia 15 tahun. Karena kebutuhan ekonomi yang tidak memadahi untuk meneruskan pendidikannya, terpaksa ia harus menikah diusia muda. Namun ia tetap bertekad agar anaknya kelak bias sekolah sampai jenjang yang tinggi agar tidak mengalami nasib seperti kedua orangtuanya.

4. Dampak Pernikahan Dini
Pernikahan yang dilakukan tanpa kesiapan dan kematangan mental serta tanpa didasari oleh rasa suka, cinta dan kasih dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat Pakem yang melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.
Maraknya fenomena pernikahan dini di desa Pakem KEcamatan Pakem Kabupaten Bondowoso mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah melangsungkan pernikahan, juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing keluarganya.

A. Dampak Pernikahan Dini Terhadap Pelaku, keluarga dan anak.
Dampak perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
1. Dampak terhadap suami istri
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul di karenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Dampak lainnya antara lain sebagai berikut:
- Kurangnya kesadaran memahami akan kewajiban dan hak sebagai suami-istri
- Tidak adanya keselarasan dalam menjalankan bahtera rumah tangga
- Adanya perselisihan-perselisihan dalam kehidupan rumah tangga

2. Dampak terhadap masing-masing keluarga.
Selain berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan diantara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah-pihak.

3. Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak, sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan mengalami gangguan-gangguan pada perkembangan fisik. Selain itu karena kurangnya kematangan mental, bias berpengaruh terhadap pola asuh/pola didik terhadap anak dan dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.

B. Dampak Pernikahan Dini Terhadap Pola Asuh Anak
Dampak pernikahan dini terhadap pola asuh anak sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, apakah anak tersebut akan tumbuh sebagai anak yang disiplin, cerdas, mengerti tentang moral dalam lingkungan keluarga dan masyarakat atau apakah anak tersebut tumbuh sebagai anak yang arogan, pemurung, tidask mudah berinteraksi dalam lingkungan sosial, bahkan cenderung menutup diri.
Pada dasarnya pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapa anak agar dapat tum buh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000). Pola asuh dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor: pendidikan orangtua terutama ibu yang biasanya paling dekat dengan anak; pengetahuan ibu mengenai gizi anak sebab hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, pengetahuan ini bias didapatkan dalam pendidikan formal maupun informal; intensitas ibu menemani dan menjaga buah hatinya serta turut serta dalam mendidik anaknya menjadi manusia yang utama.
Menurut Danny. I Yatin (1986:96) dalam membina anak kita mengenal empat model pola asuh antara lain:
Tabel 3. Tabel Pola Pengasuhan Ideal Untuk Anak Macam Pola Pengasuhan
Ciri-ciri
Dampak Negatif
Demokratis

1. Memberikan peluang kepada anak untuk mandiri
2. Adanya pengarahan dan pengawasan kepada anak.
3. Selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan


1. Anak cenderung mandiri.
2. Tegas terhadap diri sediri
3. adanya keterbukaan

Penyabar atau pemanja

1. Segala sesuatu berpusat pada kepentingan anak.
2.Tidak mengendalikan kepentingan kepentingan anak.
3. Orang tua tidak menegur bila anak melakukan salah.


1. Energik, renponsif.
2. Manja
3.Impulsif, mementingkan diri sendiri.
4. Kurang percaya diri, cengeng, aggresif.

Otoriter

1. Mengendalikan anak secara berlebihan
2. Cenderung mengancam dan menakut-nakuti.

3. Memutlakkan kepatuhan, rasa hormat, sopan santun.
4. Orang tua tidak merasa salah.


1. Kurang percaya diri
2. Penakut, kurang sopan.
3. kopentensi dan tanggung jawab cukup
4. Berperilaku anti sosial.

Pemberian hadiah

1. memperhatikan secara fisik dan psikis
2. Orang tua memprioritaskan kepentingan anak.
3. Orang tua tidak sibuk dengan kegiatan


1. Anak cenderung manja
2. Selalu mengharapkan hadiah.
3. Anak lebih agresif


C. Syarat-syarat Perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 syarat-syarat perkawinan tercantum pada pasal 6 dan pasal 7 adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup memperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah satu orang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Syarat-syarat perkawinan menurut pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

5. Penutup
            Pernikahan dini bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi banyak hal yang melatarbelakanginya seperti kasus tingkat pendidikan pelaku pernikahan dini, pengaruh dari orang tua yakni untuk membantu meringankan beban hidup, malu terhadap diri sendiri bila dianggap tidak laku, tanggapan adapt setempat bahwa bila tidak cepat menikah tidak laku dan juga kebiasaan yang telah terjadi turun temurun dalam kurun waktu yang sangat lama. Masyarakat awam setempat beranggapan bahwa pernikahan dini tidak salah untuk dilakukan, selain dapat menyatukan dua ikatan keluarga juga dapat meringankan beban ekonomi orangtua. Masyarakat awam beranggapan buat apa sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya didapur juga.
            Fenomena pernikahan dini ini bisa saja diminimalisir bila individunya mengerti tentang hakikat dan makna pernikahan yang hakiki. Pernikahan yang dilakukan dengan kesiapan mental, pikiran dan saling menerima kurang dan lebihnya pasangan, untuk mencapai pernikahan yang bahagia. Hal ini dapat dipelajari jika kita pernah menganyam pendidikan. Namun hal ini juga bisa diminimalisirkan bila kita mau membantu menyosialisasikan tentang undang-undang yang mengatur tentang pernikahan yakni pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 yang isinya:  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Mawaddah. 2007. Pilar-pilar Penegak Keluarga Sakinah. Gresik: Pustaka Al Furqon.
Asy Syariah. 2008. Mewujudkan Pernikahan Islami. Yogyakarta: Oase Media. (02 Desember 2009).
Asy Syariah. 2008. Meninjau Ulang Emansipasi. Yogyakarta: Oase Media. (27 November 2009)
















LAMPIRAN
1. Angket Wawancara
            Daftar angket wawancara (pengumpulan data) sebagai berikut:
1. Nama Informan       :
2. Tempat, tanggal lahir:
3. Jenis Kelamin          :
4. Profesi                     :
5. Alamat                    :

Daftar pertanyaan
1.      Bagaimanakah pandangan anda mengenai pernikahan dini?
2.      Setujukah anda mengenai adanya fenomena pernikahan dini yang telah terjadi di desa ini selama turun temurun?
3.      Bila setuju, bagaimanakah efek/dampakpositif yang dapat anda lihat atau anda dapatkan?
4.      Bila tidak setuju, argumen apa yang mendasari pernyataan anda?
5.      Menurut anda faktor apa saja yang mendasari maraknya pernikahan dini bagi masyarakat awam di kecamatan Pakem ini?
6.      Apakah dampak negatif yang anda ketahui dari fenomena pernikahan dini?
7.      Tahukah anda ketentuan pemerintah mengenai aturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum pernikahan?



Hasil wawancara

1.      Bapak Hadi Sudarsono, S.Pd, (usia 55 Tahun, berprofesi sebagai guru SD) tokoh masyarakat Pakem yang peduli terhadap perkembangan dan kemajuan pada anak di desa Pakem berpendapat “Pernikahan dini harusnya bisa diantisipasi dengan bekal pengetahuan, ya bisa melalui pendidikan formal maupun informal. Menurut pengamatan saya, faktor terbesar terjadinya pernikahan dini ya karena memang dari kebutuhan ekonomi, masih banyak penduduk di desa ini berada dalam garis kemiskinan. Jangankan buat biaya sekolah, untuk biaya makan mereka sudah cukup kalau bisa makan dengan layak. Baiknya diadakan sosialisasi terhadap dampak pernikahan dini.soal undang-undang itu yang saya ketahui bahwa pernikahan harus sesuai umur, perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, sayangnya sosialisasinya belum tepat banyak orang belum tahu. Ini PR pemerintah, kebutuhan ekonomi terpenuhi, pendidikan terjangkau, maka saya rasa pernikahan dini bisa diminimalisir”.
2.      Mbah Suwarna (tokoh masyarakat awam, 67 tahun, guru ngaji) setuju dengan adanya pernikahan dini, dia berpendapat: “ya kenapa nak meski diadakan pernikahan dibawah usia 16 tahun, toh yang penting tidak melanggar norma agama, tidak menjadi momok masyarakat dianggap tidak laku, itu aib. Dari pada berbuat zina, nah itu baru dosa. Islam juga tidak melarang kita melakukan nikah muda, nabi aja menikahi Aisyah saat dia berusia 9 tahun. Buat apa dik wanita sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya hanya bekerja didapur. Undang-undang soal itu mbah kurang tau”.
3.      Yuliani Dwi Tikdias Andarini (pelaku nikah dini, 21 tahun, ibu rumah tangga) berpendapat: “Menikah dalam usia 15 tahun 7 bulan, Pertamanya dalam melakukan pernikahan terasa sangat asing, segala sesuatunya serba baru. Baru bangun tidur pagi langsung disuguhi pekerjaan yang menumpuk sebagai seorang istri. Kalau ingat masa sekolah sepertinya ingin kembali ke masa itu. Mau gimana lagi kalau gak ada biaya. Saya juga pernah dikiret (keguguran) saat saya umur 17 tahun, kata dokter kandungan saya terlalu lemah. Sekarang saya sudah punya seorang putri berusia 2 tahun disaat usia saya 21 tahun, harusnya itu masa-masa indah melewati masa remaja. Undang-undang seperti itu cuma dibahas waktu SMP itupun belum faham benar”.
4.      Nur Ivaniah (mahasiswi, 23 tahun, istri) berpendapat: “Saya menikah diusia 21 tahun dan hampir mendekati usia 22 tahun. Pada saat itu saya memang sudah kuliah sekarang tinggal melanjutkan. Saya ingin bekerja dan menggondol ijazah sebagai sarjana. Meski sudah menikah tetapi pendidikan harus saya tempuh. Untung saja orangtua masih mau membantu beban biaya kuliah. Rasa was-was saat menikah tidak terlalu membuat saya menjadi lebay ya memang saya sudah memikirkan hal-hal dan kewajiban yang harus saya lakukan, jangan sampai pernikahan dianggap hal yang main-main. Kalau bisa, cukup sekali seumur hidup. Ya saya pernah dengar peraturan seperti itu, berhubung saya menikahnya usia 21 tahun jadi buat saya tidak ada masalah”.
5.      Suswati (23 tahun, ibu rumah tangga, menikah usia 15 tahun) “Mulanya saya berpikir tidak ada bedanya mau nikah muda atau tua yang jelas sama-sama nikah, besok atau lusa sama saja tetap nikah. Ya sekarang saya punya anak satu. Tapi saya tidak mau anak saya maengalami hal yang sama dengan saya, kecuali nanti saya mampu membiayai anak saya samapai sekolah yang tinggi. Biar gak bodoh kayak ibu bapaknya”.
6.      Mbah Aminah (79 tahun) “Buat apa nikah tua-tua ndok, kasihan orangtua kalau menghabiskan biaya Cuma buat sekolah, mau jadi apa, presiden sudah ada, guru sudah banyak, enak dirumah saja, didesa, garap sawah sudah cukup. Apa kata orang, malu ndok kalau dianggap orangtua tidak mampu mencarikan jodoh buat anaknya, dikira gak laku ndok. Buat apa ndok undang-undang itu, yang penting nikah udah beres”.


0 comments:

Post a Comment