Salah Kaprah Pernikahan Dini
Bagi Masyarakat Awam
di Desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten
Bondowoso
Febria Ratnasari, S.S
Ringkasan
Perkawinan pada
umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama,
suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah
mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai
dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukanlah
bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayangnya tidak semua orang tidak
bisa memahami hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu
mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah-tangga. Pernikahan dini
merupakan salah satu faktor penyebab sebagian orang kurang bahkan tidak bisa memahami
hakikat dan makna pernikahan yang hakiki. Pernikahan dini bisa terjadi
dikarenakan faktor-faktor yang mendukung terjadinya pernikahan dini. Kasus
seperti ini lebih mudah dijumpai pada daerah desa/pedesaan terutama didesa
Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso yang notabene banyak kaum awam yang
masih percaya bahwa dengan melakukan pernikahan dini dapat mengatasi masalah,
terutama beban ekonomi keluarga.
Kata Kunci:
pernikahan dini, faktor pernikahan dini
1. Pendahuluan
Pernikahan
sudah menjadi hal yang lazim bagi kita, namun berbeda halnya dengan kasus
pernikahan dini. Bagi sebagian orang yang telah memiliki pemikiran matang juga
wawasan luas mengenai konsep pernikahan tentunya akan memandang remeh tentang
pernikahan dini, namun tidak menutup kemungkinan pula bahwa sebagian dari
mereka sangat peduli terhadap dampak yang ditimbulkan bagi pelaku pernikahan
dini bahkan sampai pada tingkat pola asuh anak.
Pernikahan
dini banyak ditemui dalam masyarakat
pedesaan yang sebagian besar dari mereka belum mempunyai konsep psikologis yang
matang. Penyebab terjadinya perkawinan di usia muda ini dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor. Rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi dan lingkungan
tempat tinggal. Selain itu faktor perjodohan seperti halnya pada zaman Siti
Nurbaya masih berlaku dalam masyarakat awam di desa Pakem kecamatan Pakem
kabupaten Bondowoso.
Terjadinya
perkawinan usia muda di desa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso ini
mempunyai dampak yang tidak baik bagi mereka yang telah melangsungkan
perkawinan di usia muda. Dampak dari perkawinan usia muda akan menimbulkan
persoalan dalam rumah tangga, namun tidak mungkin dipungkiri bahwa tidak semua
perkawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena tidak
sedikit dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda dapat
mempertahankan dan memelihara keutuhan keluarga sesuai dengan tujuan dari
perkawinan itu sendiri
Berdasarkan
ulasan diatas Penulis memilih tema Pernikahan dini bagi masyarakat awam karena
yang sangat menarik untuk dikaji karena pada usia muda masih banyak hal yang
belum tentu mereka pahami mengenai pola kehidupan berumah tangga yang bahagia
dan kekal sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di desa Pakem kecamatan Pakem
kabupaten Bondowoso masih ditemukan adanya praktek perkawinan di usia muda pada
beberapa pasangan usia dini.
Permasalahan merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian.
Permasalahan yang dibahas harus jelas dan terarah. Oleh sebab itu penulis
merumuskan pembahasan mengenai “Salah Kaprah Pernikihan Dini Bagi Masyarakat
Awam di Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso” sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya pernikahan
dini di Desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten
Bondowoso?
2.
Bagaimanakah pandangan masyarakat awam mengenai
pernikahan dini di desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso?
3.
Apa dampak yang dialami oleh mereka yang melangsungkan pernikahan
dini dan juga bagi perkembangan pola asuh anak?
Berdasarkan
permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan faktor-faktor apa yang mendorong
terjadinya pernikahan dini di Desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso.
2.
Mendeskripsikan pandangan masyarakat awam mengenai
pernikahan dini di desa Pakem Kecamatan Pakem Kabupaten Bondowoso.
3.
Mendeskripsikan dampak yang dialami oleh mereka yang
melangsungkan pernikahan dini juga bagi perkembangan pola asuh anak.
Hasil
penelitian ini diharapkan akan bermanfaat:
1. Bagi masyarakat
umum.
Memberi
pengetahuan kepada masyarakat tentang adanya UU perkawinan, sehingga perkawinan
yang akan dilangsungkan sesuai dengan tujuan dari UU No.1 Tahun 1974 yaitu
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Selain itu sebagai bahan perenungan agar tidak terjadi kekerasan dan
mengingkatnya angka perceraian dalam rumah tangga.
2.
Memberikan pengetahuan kepada pasangan suami istri mengenai seluk-beluk
kehidupan berumah-tangga yang baik.
Dalam pembuatan artikel ini, penulis
menggunakan metode wawancara dengan mendatangi beberapa tokoh yang setuju dan
tidak setuju mengenai adanya kasus pernikahan dini di desa Pakem. Selain itu
penulis juga menulis angket kepada anak remaja berusia antara 12-16 tahun di
desa Pakem kecamatan Pakem kabupaten Bondowoso. Untuk menguatkan hasil penelitian
penulis juga mengacu pada beberapa buku dan majalah yang membahasa mengenai
pernikahan dan pernikahan dini.
2. Faktor-faktor Pendorong Pernikahan Dini
Maraknya pernikahan dini yang dialami remaja puteri berusia di bawah 20
tahun ternyata masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Tema pernikahan dini
bukan menjadi suatu hal baru untuk diperbincangkan, padahal banyak risiko yang
harus dihadapi mereka yang melakukannya.
Sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya
belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diemban seperti orang
dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa
dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan,
maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu
menyelesaikan permasalahan secara matang.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau dikota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami-istri muda, serta Bagaimana bentuk pola asuh keluarga pasangan usia muda.
Hasil penelitian lapangan di desa Pakem Kecamatan
Pakem Kabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan diusia
muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang mendorong mereka untuk
melangsungkan perkawinan diusia muda antara lain:
1. Faktor ekonomi, berdasarkan fakta yang ada sebagian
besar pendorong terjadinya pernikahan dini di desa Pakem Kecamatan Pakem
Kabupaten Bondowoso adalah faktor ekonomi. Banyak anak menyebabkan kebutuhan
ekonomi semakin meningkat, sedangkat pendapatan yang didapatkan tiap harinya
sebagai buruh tani/tani tidak mencukupi kebutuhan anak-anak mereka terutama
masalah biaya pendidikan. Di desa Pakem ini, ada tradisi yang menarik bahwa
mempelai wanita akan mendapatkan bantuan dari pihak laki-laki dalam masalah keuangan.sehingga
orangtua dan pelaku pernikahan dini
berpendapat bahwa bila melakukan pernikahan beban ekonomi akan terbantu (lebih
ringan).
2. Faktor
pendidikan, Rendahnya tingkat pendidikan mereka sangat mempengaruhi pola
pikir mereka dalam memahami dan mengerti tentang hakikat dan tujuan perkawinan.
Rata-rata jenjang pendidikan masyarakat desa Pakem didominasi oleh tingkat SD
dan SMP, sangat minim sekali tingkat SMA dan kuliah di Perguruan Tinggi, hanya
segelincir orang saja, tergantung kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi
dan pendapatan orangtua. Berdasarkan hasil pengamatan, remaja yang melakukan
pernikahan dibawah usia 16 tahun adalah hanya sampai pada jenjang pendidikan SD
dan SMP bahkan ada pula yang belum pernah mengenyam pendidikan.
3. Faktor orangtua,
selain faktor pemenuhan kebutuhan hidup, pernikahan juga sangat berpengaruh
terhadap jalinan/ikatan kekeluargaan terutama kekerabatan antara kedua calon
mempelai. Faktor lainnya adalah adanya pendapat bahwa anak gadis harus
cepat-cepat menikah bila tidak masyarakat awam di daerah itu akan mencibir dan
menganggap anak gadis itu tidak laku sehingga menimbulkan rasa was-was pada
orangtua; sehingga terjadilah perjodohan yang dilakukan oleh para orangtua
walau tanpa memikirkan pendapat dan hak anaknya sebagai pelaku pengantin yang
akan menjalani kehidupan barunya. Padahal dalam ajaran Islam telah diajarkan
dalam Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya: “Nikahilah oleh kalian wanita- wanita
yang kalian senangi”. Berdasarkan penjelasan dari ayat tersebut, seharusnya
orangtua tidak memaksakan kehendaknya, sebab utuhnya sebuah pernikahan bila
didasari oleh rasa senang dan siap menjalani sebuah pernikahan yang mempunyai
nilai sakral.
4. Faktor diri sendiri, pelaku pernikahan dini, terutama
kaum hawa merasa menjadi beban bagi orangtua, sebab selain aib yang diderita
sebagai wanita “tidak laku” atau terlambat menikah akan membebani dirinya.
Selain itu tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu
muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
5. Faktor adat setempat, dalam masyarakat Pakem terjadi
kekeliruan atau salah kaprah yang sangat fatal. Masyarakat awam berasumsi bahwa
“tak perlu wanita itu berpendidikan yang tinggi, toh pada akhirnya bekerja
didapur juga“. Pendidikan dianggap sebagai hal yang kurang berguna, hanya
menghabiskan uang dan pengeluaran rumah tangga bagi orangtua. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap tingkat pemikiran yang tentunya didasari oleh latar
belakang pendidikan yang relatif rendah. Berdasarkan hasil pengamatan dilingkungan
desa Pakem, pelaku usia dini banyak yang berusia 12 tahun sampai 16 tahun
(lulus SD-SMP), hal ini kareana salah kaprah pemikiran orang awam tentang makna
pernikahan yang sejati, juga akibat rendahnya pendidikan. Selain itu sifat
awam orang Pakem yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Kebanyakan
orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya
karena mengikuti adat kebiasaan saja.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua
pekawinan diusia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit
dari mereka yang telah melangsungkan perkawinan diusia muda dapat
mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan tujuan dari perkawinan
itu sendiri. Hasil temuan dilapangan bahwa pola asuh demokratis lebih mendorong
anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan
cara otoriter.
3. Pandangan Masyarakat Awam Terhadap
Pernikahan Dini
Berdasarkan
hasil wawancara terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan pelaku pernikahan dini, ada
sebagian masyarakat yang menyetujui adanya pernikahan dini. Bagi mereka
pernikahan dini boleh saja terjadi, terutama dapat untuk membantu meringankan
beban ekonomi. Tokoh-tokoh yang dituakan di desa Pakem setuju terhadap fenomena
ini. Pada dasarnya hal ini sudah terjadi sudah lama, namun kesadaran yang
kurang di dapatkan, terutama terjadi perbedaan antara generasi tua yang pro
terhadap pernikahan dini dan generasi muda yang kontra terhadap pernikahan
dini.
Menurut mbah Suwarna dan Mbah Aminah
mereka setuju dengan adanya pernikahan dini bahkan tidak ada yang salah dengan
fenomena ini. Bagi mereka dari pada anak gadis jadi momok keluarga sebab
dianggap lambat menikah dan melakukan perbuatan zina lebih baik dinikahkan muda
saja. “Buat apa dik wanita sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya hanya bekerja
didapur” ujar mbah Suwarna. Selain menyelamatkan nama baik keluarga juga dapat membantu meringankan
biaya ekonomi disaat harga pendidikan tak terjangkau oleh masyarakat menengah
kebawah seperti yang terjadi di desa Pakem.
Selain tokoh-tokoh yang pro terhadap
pernikahan dini, adapun sebagian orang yang juga turut peduli terhadap fenomena
ini. Bagi bapak Hadi Sudarsono pernikahan dini bias diantisipasi, salah satunya
melalui pendidikan baik formal maupun informal. Sosialisasi undang-undang yang
mengatur tentang pernikahan juga dianggap perlu.
Nurivaniah juga merupakan wanita
yang peduli terhadap adanya undang-undang yang mengatur tentang pernikahan. Ia
juga sangat mengerti dan menghargai makna dari pernikahan, baginya pernikahan
cukup sekali seumur hidup.
Salah kaprah pandangan masyarakat
awam terhadap pernikahan dini, menjadikan sebagian orang menjadi korban pelaku
pernikahan dini. Tak selamanya pernikahan dini berakhir bahagia meski tidak
menutup kemungkinan pula dapat berakhir dengan bahagia. Yuliani juga pernah
merasakan menjadi korban pernikahan dini saat usia baru menginjak 15 tahun.
Saat usianya 17 tahun ia mengalami keguguran karena kandungan yang terlalu
lemah mengingat usianya baru 17 tahun.
Selain Yuliani, Suswati seorang ibu
rumah tangga juga pernah menjadi pelaku perniakan dini. Ia menikah diusia 15
tahun. Karena kebutuhan ekonomi yang tidak memadahi untuk meneruskan
pendidikannya, terpaksa ia harus menikah diusia muda. Namun ia tetap bertekad
agar anaknya kelak bias sekolah sampai jenjang yang tinggi agar tidak mengalami
nasib seperti kedua orangtuanya.
4. Dampak Pernikahan Dini
Pernikahan
yang dilakukan tanpa kesiapan dan kematangan mental serta tanpa didasari oleh
rasa suka, cinta dan kasih dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif
terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap
kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat Pakem yang melangsungkan
perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang
mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.
Maraknya fenomena pernikahan dini di desa Pakem
KEcamatan Pakem Kabupaten Bondowoso mempunyai dampak tidak baik kepada mereka
yang telah melangsungkan pernikahan, juga berdampak pada anak-anak yang
dilahirkannya serta masing-masing keluarganya.
A. Dampak
Pernikahan Dini Terhadap Pelaku, keluarga dan anak.
Dampak
perkawinan usia muda akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah
pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, terhadap anak-anak, maupun
terhadap keluarga mereka masing-masing.
1. Dampak terhadap
suami istri
Tidak
bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istrti yang telah melangsungkan
perkawinan diusia muda tidak bisa memenuhi atau tidak mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul di karenakan belum
matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat
keegoisan yang tinggi. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
Dampak
lainnya antara lain sebagai berikut:
- Kurangnya
kesadaran memahami akan kewajiban dan hak sebagai suami-istri
- Tidak adanya
keselarasan dalam menjalankan bahtera rumah tangga
- Adanya
perselisihan-perselisihan dalam kehidupan rumah tangga
2. Dampak terhadap
masing-masing keluarga.
Selain
berdampak pada pasangan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda
juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan
diantara anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang
tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka
tidak bahagia dan akhirnya yang terjadi adalah perceraian. Hal ini akan
mengakibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang paling parah lagi akan memutuskan
tali kekeluargaan diantara kedua belah-pihak.
3. Dampak terhadap
anak-anaknya
Masyarakat
yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan
membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada
usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi
wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan
mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang
melahirkan anak, sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan mengalami
gangguan-gangguan pada perkembangan fisik. Selain itu karena kurangnya
kematangan mental, bias berpengaruh terhadap pola asuh/pola didik terhadap anak
dan dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
B. Dampak Pernikahan Dini Terhadap Pola
Asuh Anak
Dampak
pernikahan dini terhadap pola asuh anak sangat berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak, apakah anak tersebut akan tumbuh sebagai anak yang disiplin,
cerdas, mengerti tentang moral dalam lingkungan keluarga dan masyarakat atau
apakah anak tersebut tumbuh sebagai anak yang arogan, pemurung, tidask mudah
berinteraksi dalam lingkungan sosial, bahkan cenderung menutup diri.
Pada
dasarnya pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu,
perhatian dan dukungan terhadapa anak agar dapat tum buh kembang sebaik-baiknya
secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000). Pola asuh dalam keluarga
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor: pendidikan orangtua terutama ibu yang
biasanya paling dekat dengan anak; pengetahuan ibu mengenai gizi anak sebab hal
ini berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, pengetahuan ini bias didapatkan
dalam pendidikan formal maupun informal; intensitas ibu menemani dan menjaga
buah hatinya serta turut serta dalam mendidik anaknya menjadi manusia yang
utama.
Menurut
Danny. I Yatin (1986:96) dalam membina anak kita mengenal empat model pola asuh
antara lain:
Tabel 3. Tabel
Pola Pengasuhan Ideal Untuk Anak Macam Pola Pengasuhan
|
Ciri-ciri
|
Dampak Negatif
|
Demokratis
|
1. Memberikan
peluang kepada anak untuk mandiri
2. Adanya
pengarahan dan pengawasan kepada anak.
3. Selalu
dilibatkan dalam pengambilan keputusan
|
1. Anak
cenderung mandiri.
2. Tegas
terhadap diri sediri
3. adanya
keterbukaan
|
Penyabar atau
pemanja
|
1. Segala
sesuatu berpusat pada kepentingan anak.
2.Tidak
mengendalikan kepentingan kepentingan anak.
3. Orang tua
tidak menegur bila anak melakukan salah.
|
1. Energik,
renponsif.
2. Manja
3.Impulsif,
mementingkan diri sendiri.
4. Kurang
percaya diri, cengeng, aggresif.
|
Otoriter
|
1. Mengendalikan
anak secara berlebihan
2. Cenderung
mengancam dan menakut-nakuti.
3. Memutlakkan
kepatuhan, rasa hormat, sopan santun.
4. Orang tua
tidak merasa salah.
|
1. Kurang
percaya diri
2. Penakut,
kurang sopan.
3. kopentensi
dan tanggung jawab cukup
4. Berperilaku
anti sosial.
|
Pemberian hadiah
|
1. memperhatikan
secara fisik dan psikis
2. Orang tua
memprioritaskan kepentingan anak.
3. Orang tua
tidak sibuk dengan kegiatan
|
1. Anak
cenderung manja
2. Selalu
mengharapkan hadiah.
3. Anak lebih
agresif
|
C. Syarat-syarat
Perkawinan
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 syarat-syarat perkawinan tercantum pada pasal 6 dan pasal 7
adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk
melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tua.
3. Dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
memperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
4. Dalam kedua
orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah garis keturunan lurus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini, atau salah satu orang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), (4)
pasal ini.
6. Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain. Syarat-syarat perkawinan menurut pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974
yaitu: Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.
5. Penutup
Pernikahan
dini bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi banyak hal yang
melatarbelakanginya seperti kasus tingkat pendidikan pelaku pernikahan dini,
pengaruh dari orang tua yakni untuk membantu meringankan beban hidup, malu
terhadap diri sendiri bila dianggap tidak laku, tanggapan adapt setempat bahwa
bila tidak cepat menikah tidak laku dan juga kebiasaan yang telah terjadi turun
temurun dalam kurun waktu yang sangat lama. Masyarakat awam setempat
beranggapan bahwa pernikahan dini tidak salah untuk dilakukan, selain dapat menyatukan
dua ikatan keluarga juga dapat meringankan beban ekonomi orangtua. Masyarakat
awam beranggapan buat apa sekolah tinggi-tinggi toh akhirnya didapur juga.
Fenomena pernikahan dini ini bisa
saja diminimalisir bila individunya mengerti tentang hakikat dan makna
pernikahan yang hakiki. Pernikahan yang dilakukan dengan kesiapan mental,
pikiran dan saling menerima kurang dan lebihnya pasangan, untuk mencapai
pernikahan yang bahagia. Hal ini dapat dipelajari jika kita pernah menganyam
pendidikan. Namun hal ini juga bisa diminimalisirkan bila kita mau membantu
menyosialisasikan tentang undang-undang yang mengatur tentang pernikahan yakni
pasal 7 UU No.1 Tahun 1974 yang isinya:
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawaddah. 2007. Pilar-pilar Penegak
Keluarga Sakinah. Gresik: Pustaka Al Furqon.
Asy Syariah. 2008. Mewujudkan Pernikahan
Islami. Yogyakarta: Oase Media. (02 Desember
2009).
Asy Syariah. 2008. Meninjau Ulang Emansipasi.
Yogyakarta: Oase Media. (27 November 2009)
http://hamidwahid.blogspot.com/2007/09/pernikahan-dini-tinjauan-sosial.htmlluarga.
(27 November 2009).
http://id.88db.com/id/Knowledge/Knowledge_Detail.page/Wedding/?kid=8234.
(27 November 2009).
http://spaceku.com/index.php?p=blog&blg_id=4666.
(02 Desember 2009).
LAMPIRAN
1.
Angket Wawancara
Daftar angket wawancara (pengumpulan data) sebagai berikut:
1. Nama Informan :
2. Tempat, tanggal lahir:
3. Jenis Kelamin :
4. Profesi :
5. Alamat :
Daftar
pertanyaan
1. Bagaimanakah pandangan anda mengenai pernikahan
dini?
2. Setujukah anda mengenai adanya fenomena
pernikahan dini yang telah terjadi di desa ini selama turun temurun?
3. Bila setuju, bagaimanakah efek/dampakpositif
yang dapat anda lihat atau anda dapatkan?
4. Bila tidak setuju, argumen apa yang mendasari
pernyataan anda?
5. Menurut anda faktor apa saja yang mendasari
maraknya pernikahan dini bagi masyarakat awam di kecamatan Pakem ini?
6. Apakah dampak negatif yang anda ketahui dari
fenomena pernikahan dini?
7. Tahukah anda ketentuan pemerintah mengenai
aturan perundang-undangan yang mengatur tentang hukum pernikahan?
Hasil wawancara
1.
Bapak Hadi Sudarsono, S.Pd, (usia 55 Tahun, berprofesi
sebagai guru SD) tokoh masyarakat Pakem yang peduli terhadap perkembangan dan
kemajuan pada anak di desa Pakem berpendapat “Pernikahan dini harusnya bisa
diantisipasi dengan bekal pengetahuan, ya bisa melalui pendidikan formal maupun
informal. Menurut pengamatan saya, faktor terbesar terjadinya pernikahan dini
ya karena memang dari kebutuhan ekonomi, masih banyak penduduk di desa ini
berada dalam garis kemiskinan. Jangankan buat biaya sekolah, untuk biaya makan
mereka sudah cukup kalau bisa makan dengan layak. Baiknya diadakan sosialisasi
terhadap dampak pernikahan dini.soal undang-undang itu yang saya ketahui bahwa
pernikahan harus sesuai umur, perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun,
sayangnya sosialisasinya belum tepat banyak orang belum tahu. Ini PR
pemerintah, kebutuhan ekonomi terpenuhi, pendidikan terjangkau, maka saya rasa
pernikahan dini bisa diminimalisir”.
2.
Mbah Suwarna (tokoh masyarakat awam, 67 tahun, guru
ngaji) setuju dengan adanya pernikahan dini, dia berpendapat: “ya kenapa nak
meski diadakan pernikahan dibawah usia 16 tahun, toh yang penting tidak
melanggar norma agama, tidak menjadi momok masyarakat dianggap tidak laku, itu
aib. Dari pada berbuat zina, nah itu baru dosa. Islam juga tidak melarang kita
melakukan nikah muda, nabi aja menikahi Aisyah saat dia berusia 9 tahun. Buat
apa dik wanita sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya hanya bekerja didapur.
Undang-undang soal itu mbah kurang tau”.
3.
Yuliani Dwi Tikdias Andarini (pelaku nikah dini, 21
tahun, ibu rumah tangga) berpendapat: “Menikah dalam usia 15 tahun 7 bulan,
Pertamanya dalam melakukan pernikahan terasa sangat asing, segala sesuatunya
serba baru. Baru bangun tidur pagi langsung disuguhi pekerjaan yang menumpuk
sebagai seorang istri. Kalau ingat masa sekolah sepertinya ingin kembali ke
masa itu. Mau gimana lagi kalau gak ada biaya. Saya juga pernah dikiret
(keguguran) saat saya umur 17 tahun, kata dokter kandungan saya terlalu lemah.
Sekarang saya sudah punya seorang putri berusia 2 tahun disaat usia saya 21
tahun, harusnya itu masa-masa indah melewati masa remaja. Undang-undang seperti
itu cuma dibahas waktu SMP itupun belum faham benar”.
4.
Nur Ivaniah (mahasiswi, 23 tahun, istri) berpendapat:
“Saya menikah diusia 21 tahun dan hampir mendekati usia 22 tahun. Pada saat itu
saya memang sudah kuliah sekarang tinggal melanjutkan. Saya ingin bekerja dan
menggondol ijazah sebagai sarjana. Meski sudah menikah tetapi pendidikan harus
saya tempuh. Untung saja orangtua masih mau membantu beban biaya kuliah. Rasa
was-was saat menikah tidak terlalu membuat saya menjadi lebay ya memang saya sudah memikirkan hal-hal dan kewajiban yang
harus saya lakukan, jangan sampai pernikahan dianggap hal yang main-main. Kalau
bisa, cukup sekali seumur hidup. Ya saya pernah dengar peraturan seperti itu,
berhubung saya menikahnya usia 21 tahun jadi buat saya tidak ada masalah”.
5.
Suswati (23 tahun, ibu rumah tangga, menikah usia 15
tahun) “Mulanya saya berpikir tidak ada bedanya mau nikah muda atau tua yang
jelas sama-sama nikah, besok atau lusa sama saja tetap nikah. Ya sekarang saya
punya anak satu. Tapi saya tidak mau anak saya maengalami hal yang sama dengan
saya, kecuali nanti saya mampu membiayai anak saya samapai sekolah yang tinggi.
Biar gak bodoh kayak ibu bapaknya”.
6.
Mbah Aminah (79 tahun) “Buat apa nikah tua-tua ndok, kasihan orangtua kalau
menghabiskan biaya Cuma buat sekolah, mau jadi apa, presiden sudah ada, guru
sudah banyak, enak dirumah saja, didesa, garap sawah sudah cukup. Apa kata
orang, malu ndok kalau dianggap
orangtua tidak mampu mencarikan jodoh buat anaknya, dikira gak laku ndok. Buat apa ndok undang-undang itu, yang penting nikah udah beres”.
0 comments:
Post a Comment